Senin, 06 Januari 2020

Mengevaluasi dan Menyunting Teks Ulasan

Gadis Rantau
Mengevaluasi teks yang dimaksud pada tulisan ini adalah kegiatan yang dilakukan untuk melakukan perbaikan terhadap teks tulisan yang sudah ada. Sebuah teks ulasan dapat dievaluasi melalui struktur teks maupun unsur kebahasaannya. Dengan melakukan evaluasi diharapkan teks ulasan menjadi lebih baik dan sesuai dengan apa yang diharapkan. Untuk dapat mengevaluasi sebuah teks tentunya diperlukan kejelian dan ketelitian dalam memahami teks tersebut. Dengan kejelian dan ketelitian yang kita miliki tersebut kegiatan mengevaluasi teks dapat berjalan sesuai dengan apa yang kita harapkan. Mengevaluasi teks dilakukan dengan cara menyunting teks tersebut.

Menyunting merupakan langkah terakhir dari tahap penyusunan suatu teks, termasuk teks ulasan. Penyuntingan dilakukan untuk mendapat teks yang lebih baik dan terhindar dari kesalahan-kesalahan. Menyunting teks adalah memperbaiki teks sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa yang sesuai. Sebuah teks disunting karena ingin menjaga kualitas teks tersebut. Untuk dapat menyunting teks diperlukan pengetahuan tentang struktur, isi, bahasa, dan ejaan. Tujuan dari menyunting teks adalah untuk menyajikan teks yang baik dan benar sesuai dengan kaidah EYD.

Struktur Teks
Teks ulasan yang ditulis oleh Dwi Klik Santosa di atas menggambarkan sebuah pementasan karya Goenawan Mohamad yang diadaptasi dari serial komik “Gundala Putera Petir” karya Hasmi. Struktur teks terdiri orientasi^tafsiran isi^evaluasi^rangkuman.

No.Struktur TeksKalimat
1.Orientasi“Gundala Gawat” karya budayawan Goenawan Mohamad (GM) diadaptasi dari serial komik “Gundala Putera Petir” karya Hasmi. GM menganggap ini adalah karya guyonan belaka. “Sesekali kita boleh to, merenungkan sesuatu dengan cara yang guyonan,” kata GM, “semua terserah pada pencernaan penonton.” Seperti diakui oleh si seniman dari Njogja yang kondang karena karakternya yang unik dan kuat meniru berbagai logat dan karakter pengucapan tokohtokoh nomer satu Indonesia, bahwa, ”Pementasan naskah ini oleh Teater Gandrik adalah sebuah tawaran bagi publik untuk menafsirkan nilai-nilai sebuah esensi,” kata Butet Kartaredjasa, “apakah guyonan ala kami sama dengan guyonan gaya OVJ.”
2.Tafsiran isi 1Mendengarkan ucapan kedua tokoh utama di balik pementasan Teater Gandrik itu, terbayang bagi saya untuk mencernanya ke dalam keseluruhan peristiwa pementasan itu di Concert Hall, Taman Budaya Yogyakarta, 16—17 April 2013. Terdapat beragam tanggapan dan respon masyarakat setelah menyaksikannya. Muncul pula kritik dari beberapa media, namun secara umum, memberikan nilai plus. Begitupun saya rasa, dari sekian penonton yang antusias menikmati suguhan seni ala nJogja itu.
3.Tafsiran isi 2Harian Suara Merdeka melalui tulisan Sony Wibisono, tak kurang, memberikan judul ”Idealisme Sepi Gundala ’Njembling’” pada review terhadap pementasan itu. Namun toh, isi dari kandungan tulisan Sony lebih menekankan pada tajuk ”Gundala”, dalam cerita yang ditulis Goenawan Mohamad ini menjadi sosok yang sangat dirindukan Hasmi untuk dihidupkan kembali. Dan sebagai teater modern, Teater Gandrik mematuhi rel naskah, tapi dagelan Jogja terutama plesetannya adalah ”kewajiban”. Cerita ”Gundala Gawat” setidaknya memberikan sindiran yang kontesktual dengan kondisi Indonesia. Pertama kelompok koruptor, pengalihan isu dari wabah petir, dan idealisme yang tidak laku.”
4.Tafsiran isi 3Begitupun, Harian Jawa Pos yang memuatnya sebagai headline, menekankan sebuah data, seperti lakon-lakon sebelumnya, lewat ”Gundala Gawat”, Gandrik tetap tampil dengan sarkastik, kritis, dan penuh gelak tawa. Untung Basuki, aktor kawakan Bengkel Teater Rendra era 1980-1990-an, ketika saya mintai pendapat, hanya menggeleng-gelengkan kepala. ”Saya ndak habis pikir, GM, membuat adaptasi naskah teater yang seperti itu,” katanya.
5.Tafsiran Isi 4Dan kata Iwan Sudjono, seniman Jogja yang sudah kerapkali berpentas di luar negeri juga memberikan tanggapannya. ”Sebagai drama, secara plot cukuplah saya pahami maksudnya. Tapi saya rasa, terlampau banyak badutannya. Sehingga agak luput seperti apa yang saya bayangkan, ketika naskah ini ditulis oleh seorang GM.”
6.Tafsiran isi 5Teater Kontekstual
Almarhum Rendra memberikan pengertian kepada saya dalam sebuah pendapatnya, ”Yang paling menonjol dari sebuah pementasan drama adalah bagaimana kejelian sutradara mengalirkan plot. Sehingga dramaturgi yang terbentuk akan menjadi penanda bagaimana emosi penonton ikut dan hanyut ke dalam semangat pertunjukan.”
7.Evaluasi 1Menyaksikan secara utuh, pementasan Teater Gandrik pada sajian ”Gundala
Gawat” dari sejak gladi resik, pementasan hari pertama dan kedua, dan mensinergikan dalam pemahaman saya mencerna apa yang dikatakan Rendra dalam kredonya tersebut, cukup berhasil saya rasa Djaduk Ferianto memainkan perannya sebagai sutradara. Ritme yang mengalir untuk menggarap dramaturgi dimunculkan dari kreativitas yang aneka. Dari pengolahan plot yang saling sinambung dan terjaga. Dari abstraksi, klimaks dan anti klimaks, cukup mengalir memberikan tanya yang berjawab bagi benak segenap penonton.
7.Evaluasi 2Naik turun penasaran penonton dimainkan dengan akumulasi permainan cahaya atau lighting yang sinergi dengan rancak, jenaka dan senyapnya olahan permainan musik dan layar digital animasi yang kaya nuansa. Apalagi dengan gaya sampakan atau akting semau gua yang akhirnya menjadi ciri khas para ”gandriker” yang sesekali meloncat dari naskah. Berupa celotehan dan spontanitas yang kontekstual dengan alur. Tentu saja fragmen begini, yang selalu menjadi ciri mereka dan ditunggu para pecinta dan fans beratnya untuk menghasilkan senyum dan bahkan tawa ngakak. Apalagi telah dua tahun grup teater dari Njogja ini, absen dari perhelatan, dan ditinggal pergi Heru Kesawa Murti, salah satu dedengkotnya, yang meninggal dalam usia 54 tahun karena sakit. Menjadikan pementasan yang emosional bagi para anggota Gandrik, kiranya, seperti ingin menunjukkan sebuah semangat, “Teater Gandrik akan terus hidup dan berpentas!”
7.Evaluasi 3Hanya saja, saya melihat, bahwa, Susilo Nugroho, yang akrab dikenali sebagai si Den Baguse Ngarso dan menjadi pemeran Gundala, dalam beberapa adegan nampak kedodoran, berakting tidak seperti biasanya. Bagaimana pun, ialah aktor utama dalam pelakonan pentas itu. Jika semangatnya naik turun, pastilah berakibat bagi yang lain untuk naik turun. Seringkali ia melakukan hal yang fatal. Yaitu terlambat masuk ke dalam timing. Sehingga naskah yang semestinya lucu secara naskah, lantas tak menghasilkan senyum atau ketawa penonton, alias hambar-hambar saja. Begitupun, adegan yang semestinya dramatis. Menyepikan suasana untuk memberi nuansa tragis, atau sitegang sebagai gambaran tajamnya persoalan peristiwa, jadi naik turun pula maknanya dalam pencernaan penonton.
7.Evaluasi 4Untungnya ada Butet Kartaredjasa, seperti yang saya lihat bermain nyaris prima dan konsisten. Hanya saja pada pementasan hari pertama, ia sedikit down untuk memberi nuansa dramatis pada ending pementasan. Sebagaimana karakternya yang kuat, yaitu bersuara besar dan serak, dan pandai mengatur tempo pengucapan, jelaslah ia jago orasi yang mumpuni. Sehingga pintar membetot sepenuhnya perhatian penonton. Hanya tertuju kepadanya, begitulah misteri panggung itu jika sudah jinak. Namun, kali itu, ia mengalami dilema, terlambat timing. Sehingga semestinya, kalimat terakhir yang menggelegar dan giris itu, ”Kalau saja para superhero tidak lagi gagah menyuarakan kebenaran. Titenono… sopo leno, tak petir ndasmu!” akan ikut pula memalu dan menggodam perasaan penonton. Dan menjadikan sepi ruang alam: alam panggung, alam Concert Hall, alam penonton, sesepi kuburan. Sehingga pada akhirnya, akan dibawa pulang sepi itu untuk terus direnungkan menjadi semacam bahan-bahan untuk mengolah lagi.
 Mengevaluasi teks yang dimaksud pada tulisan ini adalah kegiatan yang dilakukan untuk mel Mengevaluasi dan Menyunting Teks Ulasan
8.RangkumanSecara umum, saya melihat, para aktor cukup mumpuni memainkan perannya. Lucu, berisi dan kritis.Terhadap pernyataan GM, bahwa pelakonan ini seperti bermakna guyonan belaka, saya rasa ada benarnya. Tapi juga sebuah pandangan lain dari arti sebuah guyonan, bahwa, disampaikan dengan kaidah Teater Gandrik, terasa bedanya. Akumulasi dari keseluruhan kinerja jeli sang sutradara dan dibantu seperangkat artistik kepercayaannya, memungkinkan memberi cakrawala lain di hati dan benak pemirsa.
(Sumber: https://id-id.facebook.com/notes/dwi-klik-santosa)

Kaidah Kebahasaan
Dalam teks “Guyonan Bersama Pementasan Teater Gandrik ‘Gundala Gawat’” tersebut banyak terdapat kekeliruan dalam penggunaan kaidah kebahasaan. Banyak juga ditemukan pemubaziran penggunaan kata atau penulisan kalimat. Dalam bidang ilmu bahasa, kemubaziran, yang disebut juga dengan kelewahan” dimaknai sebagai penggunaan kata secara berlebih. Artinya, kehadiran kata itu sesungguhnya tidak diperlukan, yang jika dihilangkan pun tidak akan mengganggu informasi yang disampaikan. Contohnya adalah penggunaan kata bersinonim secara bersama-sama, seperti agar supaya, demi untuk, dan servis pelayanan.
No.Kata/Kalimat yang Keliru atau MubazirKata/Kalimat yang Benar
1.Harian Suara Merdeka melalui tulisan Sony Wibisono, tak kurang, memberikan judul ”Idealisme Sepi Gundala ’Njembling’” pada review terhadap pementasan itu.Harian Suara Merdeka, melalui tulisan Sony Wibisono, memberikan judul ”Idealisme Sepi Gundala ’Njembling’” pada review terhadap pementasan itu.
2.Seringkali ia melakukan hal yang fatal. Yaitu terlambat masuk ke dalam timing.Seringkali ia melakukan hal yang fatal, yaitu terlambat masuk timing.
3.Terdapat beragam tanggapan dan respon masyarakat setelah menyakiskannyaTerdapat beragam tanggapan masyarakat
4.Hanya saja pada pementasan hari pertama, ia sedikit down untuk memberi nuansa dramatis pada ending pementasan.Hanya saja pada pementasan hari pertama, Butet Kartaredjasa kurang baik memberi kesan dramatis di akhir pementasan.
5.Sehingga pada akhirnya, akan dibawa pulang sepi itu untuk terus direnungkan menjadi semacam bahan-bahan untuk mengolah lagi.Pada akhirnya, akan dibawa pulang sepi itu untuk terus direnungkan menjadi bahan-bahan untuk mengolah lagi.
6.Begitupun, Harian Jawa Pos yang memuatnya sebagai headline, menekankan sebuah data, seperti lakon-lakon sebelumnya, lewat ”Gundala Gawat”, Gandrik tetap tampil dengan sarkastik, kritis, dan penuh gelak tawa.Begitupun harian Jawa pos memuatnya sebagai topik utama yang menekankan sebuah data seperti lakon sebelumnya. Lewat “Gundala Gawat”, Gandrik tetap tampil dengan sarkastik, kritis, dan penuh gelak tawa.
7.Naik turun penasaran penonton dimainkan dengan akumulasi permainan cahaya atau lighting yang sinergi dengan rancak, jenaka dan senyapnya olahan permainan musik dan layar digital animasi yang kaya nuansa.Rasa penasaran penonton dimainkan dengan permainan lighting yang bersinergi dengan bagus dan jenaka, serta senyapnya permainan musik dan layar digital animasi yang bernuansa.
8.Muncul pula kritik dari beberapa media, namun secara umum, memberikan nilai plus.Muncul pula kritik dari beberapa media. Tetapi secara umum semuanya memberikan nilai baik
9.Dan kata Iwan Sudjono, seniman Jogja yang sudah kerapkali berpentas di luar negeri juga memberikan tanggapannya. ”Sebagai drama, secara plot cukuplah saya pahami maksudnya.Iwan Sudjono, seniman Yogyakarta yang sering pentas diluar negeri juga turut memberikan tanggapannya. “Sebagai drama, secara plot cukuplah saya pahami maksudnya”
10.Tapi saya rasa, terlampau banyak badutannya.Saya rasa, terlampau banyak badutannya.

Menurut kalian, termasuk corak kritik apakah teks ulasan di atas? Menurut saya corak kritik yang digunakan adalah corak kritik eksposisi karena pengulas menulis tentang bagan-bagan yang membangun pementasan “Teater Gandrik” dimulai dari naskah, pemeran, alur, dan pementasan. Pengulas Dwi Klik Santosa juga mengungkapkan beberapa kritik dan pujian dalam teks ulasannya.

Setelah menilai dan menyunting teks “Guyonan Bersama Pementasan Teater Gandrik ‘Gundala Gawat’” dari berbagai sisi, baik struktur teks, kaidah kebahasaan, dan juga isi teks ulasan secara keseluruhan, berikutnya adalah menulis ulang kembali teks ulasan tersebut dengan mengunakan bahasa kalian sendiri. Seperti contoh di bawah ini.

Orientasi
“Gundala Gawat” merupakan karya budayawan Goenawan Mohamad (GM) yang diadaptasi dari serial komik “Gundala Putera Petir” karya Hasmi. GM menganggap "Gundala Gawat" adalah karya guyonan belaka. Pementasan naskah oleh Teater Gandrik adalah sebuah tawaran bagi publik untuk menafsirkan nilai-nilai sebuah esensi.

Tafsiran isi
Pementasan dilaksanakan di Concert Hall, Taman Budaya Yogyakarta, 16-17 April 2013. Terdapat beragam tanggapan masyarakat setelah menyaksikannya. Muncul kritik dari beberapa media yang secara umum memberikan nilai lebih. Harian Suara Merdeka, melalui tulisan Sony Wibisono, memberikan judul  ”Idealisme Sepi Gundala ’Njembling’” pada review terhadap pementasan itu. Isi dari kandungan tulisan Sony lebih menekankan pada tajuk ”Gundala” menjadi sosok yang sangat dirindukan Hasmi untuk dihidupkan kembali. Cerita ”Gundala Gawat” memberikan sindiran yang kontesktual dengan kondisi Indonesia. Harian Jawa Pos memuatnya sebagai topik utama, menekankan sebuah data, Gandrik tetap tampil dengan sarkastik, kritis, dan penuh gelak tawa. Iwan Sudjono, seniman Yogyakarta yang sering pentas diluar negeri juga turut memberikan tanggapannya. “Sebagai drama, secara plot cukuplah saya pahami maksudnya”

Teater Kontekstual
Menurut pendapat Almarhum Rendra, ”Yang paling menonjol dari sebuah pementasan drama adalah bagaimana kejelian sutradara mengalirkan plot. Sehingga dramaturgi yang terbentuk akan menjadi penanda bagaimana emosi penonton ikut dan hanyut ke dalam semangat pertunjukan.” Djaduk Ferianto memainkan perannya sebagai sutradara menggarap dramaturgi. Rasa penasaran penonton dimainkan dengan permainan lighting yang bersinergi dengan bagus dan jenaka, serta senyapnya permainan musik dan layar digital animasi yang bernuansa.

Evaluasi
Hanya saja, Susilo Nugroho yang menjadi pemeran Gundala, dalam beberapa adegan nampak kedodoran, berakting tidak seperti biasanya. Jika semangatnya naik turun mengakibatkan yang lain juga naik turun. Seringkali ia melakukan hal yang fatal, yaitu terlambat masuk timin. Untungnya ada Butet Kartaredjasa,  yang bermain prima dan konsisten. Hanya saja pada pementasan hari pertama, Butet Kartaredjasa kurang baik memberi kesan dramatis di akhir pementasan.

Rangkuman
Secara umum, para aktor cukup mumpuni memainkan perannya. Lucu, berisi dan kritis. Terhadap pernyataan GM, bahwa pelakonan ini seperti bermakna guyonan belaka, saya rasa ada benarnya. Tapi juga sebuah pandangan lain dari arti sebuah guyonan, bahwa, disampaikan dengan kaidah Teater Gandrik, terasa bedanya. Akumulasi dari keseluruhan kinerja jeli sang sutradara dan dibantu seperangkat artistik kepercayaannya, memungkinkan memberi cakrawala lain di hati dan benak pemirsa.